Belum genap 100 hari pemerintahan Jokowi – JK, terjadi aksi saling tangkap pejabat lintas institusi. 12 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan Rekening “gendut”. Ironisnya, DPR menyetujui BG sebagai Kapolri (pada test and propert ). BG belum juga dilantik (idealnya seorang tersangka memang mundur), Rakyat dicengangkan oleh penangkapan seorang wakil ketua KPK,Bambang Widjojanto (BW), oleh Polri tepatnya pada 23 Januari.
Cicak vs Buaya jilid II. BW disangkakan atas tindakannya ditahun 2010 (perkara pemilukada Kota Waringin Barat yang mengarahkan saksi untuk menyampaikan keterangan palsu dihadapan Hakim MK). Kasus itu sendiri sudah pernah mereda karena, konon, pengaduan sudah ditarik oleh pelapornya. Ketika tiba – tiba muncul lagi, wajar jika sebagian Rakyat menerka ini sebuah “serangan balik” meski istilah tersebut kurang etis karena seperti diketahui bersama, sinyal dari KPK atas status BG sudah pernah disampaikan kepada Jokowi ketika menjelang pembentukan Kabinet, diawal pemerintahannya.
Artinya, penetapan BG oleh KPK tidak bersifat politis dan atau bukan sengaja menjegal dengan mengada – ada. Justru yang mengherankan adalah sikap Jokowi yang tetap mengusulkan BG, serta sikap DPR yang meloloskan / menyetujui BG sebagai Kapolri. Wajar, jika ada kalangan menilai Jokowi tersandera politik balas budi diawal pemerintahannya. Selain BW, ketua KPK Abraham Samad (AS) dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja (APP) juga dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Tim kuasa Hukum BG. AS dinilai melanggar azas hukum saat penetapan status BG.
Menghadapi permasalahan ini, Jokowi membentuk Tim Independen. Padahal Presiden tidak harus membentuk tim tersebut. Cukup baginya mengeluarkan surat perintah khusus kepada KPK dan Polri untuk menangani kasus yang diusungnya masing – masing. Dalam perkembangannya, meski Presiden kemudian memilih Sutarman sebagai Kapolri, namun kasus BG maupun BW beserta AS dan APP hingga kini terkubur. Penulis tidak ada maksud menggembosi KPK, jika memang salah (KPK juga manusia) kenapa tidak diproses? juga tidak sentimental terhadap BG, jika memang terbukti, kenapa diabaikan? Bukankah prinsip dasar hukum adalah keadilan hukum? Keadilan hukum bukan sekedar kepatutan pelanggar untuk dihukum, tapi juga kesamaan dimata hukum (
menjalankan proses dan mendapatkan hukuman atas pelanggarannya).
Memasuki bulan Mei, Dimana sebelumnya diisukan akan terjadi demo besar – besaran dari unsur Buruh dalam rangka peringatan Hari Buruh sedunia ( 1 Mei ) dan dari unsur Mahasiswa dalam rangka Hari kebangkitan Nasional ( 20 Mei ), Presiden Jokowi menunjukan kepiawaiannya sebagai politisi. Isu berhasil diantisipasi serta menumbangkan banyak prediksi yang mengatakan demonstrasi besar akan berhasil menggulingkan Jokowi di bulan Mei dengan alasan nilai tukar Rupiah yang semakin merosot terhadap US Dollar. Jokowi sadar akan bahaya, maka disusunlah serangkaian strategi dari mulai membagikan Kartu Indonesia Sehat ( KIS ) untuk Buruh hingga upaya merangkul para “pentolan” kampus.
Tercatat pada bulan April – Mei jokowi keliling untuk membagikan secara langsung KIS kepada kaum Buruh ( Deli Serdang, Jakarta Utara, Ungaran, dll ). Ribuan Kartu berhasil meredam Buruh. Sementara untuk meredam aksi Mahasiswa, serangkaian strategi pun dijalankan dari mengundang para aktifis kampus hingga rencana pemberian beasiswa keluar negeri dan studi “banding” ke Bali yang dikenal keindahan dan turisnya yang berbikini (hmmmm penulis jadi ngiler). Mei yang diisukan seram,
berhasil dilalui oleh Jokowi dalam zona aman. Terlepas dari apakah itu sebuah upaya politis atau hanya kebetulan saja momennya, sebaiknya kita husnudzon bahwa Jokowi peduli kepada buruh dan perhatian kepada “sang jago Kampus”.
Peristiwa politik lainnya yang menjadi catatan saya adalah Resufle Kabinet oleh Jokowi pada 12 Agustus 2015. Menjadi menarik karena merupakan resufle cabinet tercepat sepanjang sejarah Indonesia pasca Reformasi. Tidak tanggung – tanggung, Jokowi kali pertama meresufle sampai 5 menteri. Mereka adalah Sofyan Djalil (Menko Perekonomian) diganti oleh Darmin Nasution, Tedjo Edhy Purdjiatno (Menko Polkam) diganti oleh Luhut Binsar Pandjaitan, Indroyono Soesilo (Menko Kemaritiman) diganti oleh Rizal Ramli, Andrinov Chaniago (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS) diganti oleh Sofyan Djalil, Rahmat Gobel (menteri Perdagangan) diganti oleh Thomas Lembong. Selain itu, Jokowi juga mengganti Sekretaris Kabinet Andi Widjayanto oleh Pramono Anung.
Dari Resufle tersebut bisa dilihat sebuah pengakuan dari Jokowi yang meski selalu ditutupi. Jokowi resah atas pertumbuhan ekonomi yang menurun, “puyeng” akan ketidakstabilan politik (padahal stabilitas politik merupakan dasar stabilitas ekonomi), dan juga kekhawatiran atas ketidakkompakan para menterinya. Sisi lain penulis melihat formasi barunya itu mencerminkan manuver Jokowi untuk merangkul pihak luar lingkarannya serta keinginannya mendapat dukungan penuh dari PDIP sebagai partai pengusungnya yang konon tidak pernah melibatkannya dalam memutuskan kebijakan Partai.
Keputusan Jokowi yang tergesa – gesa itu membuahkan sebuah tontonan baru bagi Rakyat. Sehari pasca diangkat menjadi Menko Kemaritiman, Rizal Ramli mengkritik Menteri BUMN Rini Soemarno soal rencana pembelian 30 unit pesawat Airbus 350 untuk maskapai Garuda Indonesia. Tidak hanya Rini, Menteri ESDM Sudirman Said pun diminta Rizal untuk mengevaluasi program pembangunan listrik 35.000 megawatt. Menurut Rizal, target pembangunan Listrik yang dicanangkan Presiden Jokowi terlalu ambisius terlebih masih ada program pembangunan 7.000 MW dari era SBY.
Cara yang ditempuh Rizal menyeretnya kedalam perang dingin dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebuah pemandangan yang lagi – lagi menunjukan kebohongan. Pengakuan adanya diskusi terbuka disaat Rapat Kabinet hanyalah pemanis berita. Cabinet teamwork uncertainty, sengaja dibuat kah (manajemen konflik)?
Menu selanjutnya dari para pesohor negeri disuguhkan pada 2 September 2015 dimana Partai Amanat Nasional ( PAN ) menyatakan bergabung dengan Koalisi Pendukung Pemerintah. Isu Resuffle II pun muncul, termasuk Diantaranya tokoh Koalisi Merah Putih ( KMP ), Fadli Zon. Politisi Gerindra ini meski tidak secara langsung mengaitkan keberadaan PAN di Koalisi Pemerintahan, memandang perlu adanya Resuffle II. Ada tujuan apa PAN di Barisan pemerintah? Infiltrasi KMP ataukah secara pribadi “pemilik PAN” mengendus akan munculnya “bintang baru” ditubuh KMP yang tidak dia sukai? Pendiri PAN, Amien Rais, memberi alasan sikap politik PAN didasari karena merosotnya legitimasi pemerintahan Jokowi. Lucu, Amien juga memerintahkan bila PAN tidak bisa membawa perubahan maka sebaiknya kembali ke Oposisi. Sementara itu Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengatakan alasan partainya bergabung dibarisan PDIP karena kepedulian terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang semakin menghawatirkan. Penulis saat itu sempat mencurahkan Prediksi melalui tulisan karena alasan dan gaya seperti ini menggelitik. “kehadiran PAN di pemerintahan tidak akan membawa kondisi lebih baik”.
Benar atau tidak, etis atau fayr pernyataan serta manuvernya, semoga bermuara pada kepentingan rakyat.Peristiwa Politik terheboh ditahun 2015 adalah dikuaknya rekaman pembicaraan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dua bulan pasca bergabungnya PAN ke Koalisi Pemerintah yang kemudian dikenal dengan skandal “papa minta saham”. Kali ini Menteri ESDM yang bermanuver. Sudirman Said melaporkan rekaman perbincangan Novanto dengan Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia, Maroef Syamsudin.
Rekaman yang dibuat oleh Maroef kemudian diserahkan kepada menteri ESDM untuk selanjutnya dilaporkan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD ). Lagi – lagi, pernyataan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan terkait laporan Sudirman ini mengindikasikan minimnya koordinasi dilingkungan istana. “pencatutan nama itu sah – sah saja, suka – suka dia. Pemerintah punya sikap jelas. Apa kamu bisa jamin orang lain tidak mencatut nama kita. Tanya Menteri, Sudirman Said melaporkan ke MKD itu tanpa restu Presiden.” Tandas Luhut sebagaimana dilansir Kompas.com 19/11/15.
Perang Media senjata para jawara membawa propaganda berhasil menghypnotis Rakyat. Ada yang sinis, optimis, hingga apatis. Adu argument sesuai pemahaman serta sumber informasi yang mereka serap.Demo tuntutan sidang MKD secara terbuka serta tuntutan mundurnya Novanto terus bergulir.
Tepat dihari yang sama, beberapa jam sebelum MKD memberikan putusan untuk Novanto, Ketua DPR asal Partai Beringin itu mengundurkan diri dari kursi Ketua DPR RI (16/12/15) dengan alasan demi meredam kegaduhan. MKD kemudian menutup sidang dengan tanpa putusan.
Hal menarik untuk dicermati adalah keengganan Jokowi, Luhut, dan JK ( nama yang dicatut ) untuk melaporkan pencatutan namanya kepada Bareskrim. Satu sisi kita menilai sikap bijak dari para petinggi itu. Sisi lain adalah sinyalemen akan terputusnya mata rantai kebenaran. Seyogyanya Novanto siap menjadi tumbal politik untuk tegaknya hokum di Indonesia. Novanto harus siap membeberkan fakta – fakta yang sesungguhnya atas isi rekaman tersebut. Dengan terkuburnya kasus ini, maka sama dengan membiarkan rakyat dibuai propaganda media. Mereka yang menu nya berasal dari media X, akan menganggap Novanto picik. Sebaliknya, mereka yang konsumsi otaknya dari media Y, akan menganggap Novanto korban, akan menganggap pernyataan Novanto dalam rekaman itu benar.
Sidang Etik MKD bukanlah saja soal patut tidaknya seorang Pimpinan DPR mencatut nama, tapi juga menyangkut etika seorang anggota / Pimpinan DPR dalam mengeluarkan gurauan sebagaimana terdapat pada rekaman itu. Artinya, meski tidak ada pencatutan nama dalam pertemuan dimaksud, Novanto layak ditegur oeh MKD. Kini, kuncinya ada di Lembaga hukum. Disana akan muncul pahlawan jika berhasil memvonis Novanto dan atau JKW dan atau yang lainnya. Setidaknya “membuka penuh” isi rekaman beserta pembuktian pelanggaran hokum yang terkait PTFI maupun tidak. Konon, isi rekaman menyinggung pelanggaran pilpres 2014.
Isu “papa minta saham” tenggelam dengan cepat, tergantikan oleh maraknya pro kontra atas komposisi pimpinan KPK, yang ditetapkan Komisi III DPR RI sehari setelah sidang MKD Novanto ditutup. Sebagian kalangan menyangsikan keberanian KPK jilid IV yang ditetapkan pada 17 Desember itu. Mereka yang ditetapkan sebagai pimpinan KPK periode 2015 – 2019 adalah Agus Rahardjo ( sekaligus Ketua ), Basaria Pandjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif. Dihari yang sama, kembali, media memberitakan hal lucu dimana Surat Pelarangan operasi taksi dan ojek berbasis online dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dipatahkan oleh Presiden Jokowi. Satu lagi bukti koordinasi tidak epektif karena sebelumnya Jokowi justru mengapresiasi keberadaan system transportasi ini.
Sehari kemudian, Ignasius pun mencabut surat pelarangannya setelah dipanggil Presiden. Suhu politik Nasional semakin mereda seiring bergantinya menu tontonan yang disuguhkan media. Peristiwa kecelakaan transportasi kembali terjadi dipenghujung tahun 2015. Dua kecelakaan besar dalam sehari terjadi terjadi 2x di tempat berbeda, yakni jatuhnya pesawat tempur TNI AU saat latihan dan karamnya kapal penumpang KM Marina bermuatan 108 penumpang di Perairan Siwa – Sulawesi Selatan (12/12/15). Korban yang ditemukan selanjutnya dikubur, seperti halnya kasus – kasus politik yang dikubur. Hanya media yang bisa mengubur dan membangkitkannya lagi.
Semoga tahun 2016 semakin kondusif. Indonesia jangan sampai masuk ke Dalam Kategori state of conflict-prone politics – Negara yang rentan dengan konflik politik. Sudahi kesan sebagai Negara rawan konflik antar lembaga seperti terjadi di 2015. Mari kita berbuat sesuai kapasitas masing - masing untuk membuktikan bahwa kita meskipun beragam suku, agama dan ras, tapi bukanlah golongan dari kategori conflict prone societies ( Masyarakat yang rentan konflik antar Masyarakat ).
Sebagai bahan setelah menganalisa peristiwa politik sepanjang 2015, penulis mengembalikan hal ini kepada partai politik. Sudah saatnya parpol memberi ruang bagi dialog dan mengakomodasi perbedaan serta meninggalkan system penguasaan secara oligarki. Kepemimpinan parpol dari Atas sampai ke Bawah yang kian nepotistik untuk menciptakan pejabat serta anggota perwakilan rakyat, telah menjadikan kekayaan Rakyat dikelola oleh yang bukan ahlinya. Keberadaan Media pun sangat vital bukan saja dalam menaik turunkan suhu atau ketegangan politik, namun lebih penting dari itu adalah mencerdaskan rakyat dengan menyuguhkan berita yang seimbang serta melakukan pengawalan atas
kasus – kasus hukum sebagai penyakit akut para pesohor di Negeri ini demi terciptanya generasi baru dengan semangat serta mental membangun.
Oleh : Taswa Witular (Kang Away), Penulis konsultan politik nasional